Perlawanan Imam Bonjol di Sumatera Barat

Pada tahun 1596 Belanda datang ke Indonesia di bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Kapal mereka mendarat di Banten. Kedatangan kapal dagang Belanda itu disambut ramah oleh penduduk negeri dan seperti biasanya apabila ada kapal asing merapat, banyak penduduk pribumi yang naik ke kapal untuk menawarkan makanan ataupun dagangan lainnya. Hal ini disalah artikan oleh awak kapal, sehingga mereka bertindak kasar dan angkuh. Walau pun demikian, penduduk negri yang terkenal ramah itu masih menawarkan lada yang memang mereka butuhkan.

Bertepatan dengan kedatangan kapal dagang Belanda itu, Banten sedang bersiap-siap untuk mengadakan penyerangan ke Palembang. Oleh karenanya Banten minta orang Belanda itu meminjamkan kapalnya untuk mengangkut prajurit dengan sewa yang memadai.

Permintaan itu ditolak dengan alasan mereka datang ke Banten hanya untuk berdagang dan setelah selesai akan cepat kembali pulang takut ada kapal Portugis yang datang. Akan tetapi sampai pasukan Banten kembali dari Palembang, mereka masih tetap belum pergi.

Tujuan Belanda datang ke Indonesia sebenarnya adalah untuk menguasai perdagangan rempah-rempah. Dan untuk memperkuat kedudukannya, pada 20 Maret 1602 Belanda mendirikan kongsi dagang yaitu Vereenigde Oost Indische Compagnie atau disingkat VOC di Batavia. Dari Banten, Cornelis melanjutkan perjalanannnya ke tiap pusat rempah-rempah di Maluku. Ia kembali ke negerinya membawa banyak rempah-rempah. Sejak saat itu para bangsawan Belanda banyak berdatangan ke Indonesia.

Adapun tujuan dibentuknya VOC adalah sebagai berikut.
  1. Menghindari persaingan tidak sehat di antara sesame pedagang Belanda sehingga keuntungan maksimal dapat diperoleh.
  2. Memperkuat posisi Belanda dalam menghadapi persaingan bangsa-bangsa Eropa lainnya maupun dengan bangsa-bangsa Asia.
  3. Membantu dana pemerintah Belanda yang sedang berjuang menghadapi Spanyol yang masih menduduki Belanda.
Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan leluasa, VOC diberi hak istimewa oleh pemerintah Belanda, yang dikenal sebagai Hak Octroi meliputi hal-hal berikut ini.
  1. Monopoli Perdagangan.
  2. Mencetak dan mengedarkan uang
  3. Mengangkat dan memberhentikan pegawai.
  4. Mengadakan perjanjia dengan raja-raja
  5. Memiliki tentaara untuk mempertahankan diri.
  6. Mendirikan benteng.
  7. Menyatakan perang dan damai.
  8. Mengangkat dan memberhentikan penguasa-penguasa setempat.
Di bawah kepemimpinan JP Coen, VOC mengalami kemajuan pesat. Batavia kemudian dijadikan pusat pemerintahan dan kegiatan VOC. Setelah perdagangannya maju, VOC mulai melakukan penjajahan. Mereka memecah belah kekuatan rakyat dengan mengadu domba. Siasat ini disebut ”devide et impera”. Tindakan sewenang-wenang VOC ini menimbulkan perlawanan dari rakyat Indonesia. Salah satunya dilakukan oleh Imam Bonjol.

Kehadiran Belanda di Sumatera Barat tidak lain hanyalah untuk menguasai daerah penghasil kopi karena komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan Belanda di Eropa. Dan untuk memuluskan tujuannya itu Belanda memanfaatkan perselisihan antara Kaum Padri (pembaharu agama Islam) dan Kaum Adat.

Perselisihan itu dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud adalah kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan dari Kaum Adat yang sebenarnya telah memeluk Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803 yang dikenal dengan perang Padri.

Lalu dimana keterlibatan Belanda disini? Keterlibatan Belanda dalam perang padri ini karena diundang oleh kaum Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kemudian pada 8 Desember 1821 datang tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.

Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal 10 Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak Agam.

Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso, Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.

Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun 1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung. Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya mengalami demam tinggi.

Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang. Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, namun karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin meninggal dunia di Padang.

Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal 15 November 1825. Isi Perjanjian Masang yaitu:
  1. Penetapan batas daerah kedua belah pihak. 
  2. Kaum Padri harus mengadakan perdagangan hanya dengan pihak Belanda.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat. Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur'an. Akan tetapi, perjanjian ini kemudian dilanggar oleh Belanda. Perang pun terjadi lagi.

Setelah perang Diponegoro berakhir, Belanda membawa pasukan yang besar ke Sumatra Barat. Wilayah-wilayah di Sumatra Barat mulai dapat dikuasai. Pada 1837, pasukan Belanda dibawah pimpinan Letkol Michels menyerbu Bonjol. Dalam peperangan ini Kaum Padri dapat dikalahkan. Namun Tuanku Imam Bonjol berhasil memoloskan diri. Pada Oktober 1837 Tuanku Imam Bonjol ditangkap. Ia kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Ia dipindahkan lagi ke Ambon dan akhirnya ke Lotan dekat Manado. Ia meninggal pada 8 November 1864 dan dimakamkan di sana.

*

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post